Jumat, 01 April 2016

Abu-Abu Dalam Pelangi oleh Zahra

Abu - Abu Dalam Pelangi


            Manusia hanya melihat apa yang ingin mereka lihat, dan hanya percaya apa yang mereka ingin percayai. Setidaknya, itulah yang dipikirkan oleh siswi SMA kelas 1 ini, Karin. Sejak orang tuanya bercerai 3 tahun lalu, ia merasa hidupnya berubah perlahan-lahan. Entah itu menjadi lebih baik atau lebih buruk, ia tidak tahu. Yang ia tahu hanyalah ia merasa nyaman dengan keadaannya sekarang, entah bagaimana pun itu.
           
Zahra (paling kiri) penulis cerpen ini sebagai hasil dari praktek menulis sesi pertama
Lucu, adalah hal yang terlintas dipikirannya pertama kali ketika ia berusaha mendeskripsikan tentang hidupnya sendiri. Dulu ia adalah seorang anak yang periang, ramah, dan senang bergaul dengan siapa pun asalkan memberi dampak positif. Ia juga terlahir di dalam keluarga yang bisa dibilang biasa biasa saja, dengan satu orang adik laki-laki yang terpaut 5 tahun darinya. Dulu, ia merasa seperti anak yang paling bahagia yang ada di dunia.


            Namun, saat ia memasuki SMP, beradaptasi tidaklah semudah yang ia kira. Berada di lingkungan yang baru yang dipenuhi oleh anak-anak dalam masa pubertas, ia merasa seperti ditinggalkan. Tetapi ia tidak menyerah, ia tetap berusaha untuk ramah kepada siapa pun. Ia tidak mengira bahwa sikapnya membuat orang lain muak, dan berakhir pada pem-bully­-an.

            Ia tidak berani untuk mengatakannya kepada siapa pun, gurunya, keluarganya, semuanya. Ia takut, takut akan mendapatkan perlakuan yang lebih buruk lagi jika ia mengadu. Namun, kepada siapa dia akan bersandar? Ia merasa seperti ia tidak memiliki siapa pun di sisinya.

            Seperti kecelakaan beruntun, hal buruk tidak lelah menimpa kehidupannya. Orang tuanya bercerai, dan ia dan adiknya harus berpisah dengan ibu mereka. Ayahnya memilih untuk menetap di rumah kakek neneknya bersama kedua tantenya. Namun sejak saat itu, ayahnya jadi jarang pulang.

            Menutup diri dengan mendengarkan musik melalui earphone telah menjadi kesehariannya. Entah itu di sekolah, di rumah, selama ia mendapatkan ketenangan, ia tidak peduli dengan apa pun. Ia tidak perlu mendengarkan omong kosong dari orang-orang yang ada di sekitarnya. Namun, pembicaraan antara nenek dan tantenya tentang ayahnya yang jarang pulang menarik perhatiannya.

            Sejak itu, ia sering menguping pembicaraan mereka bertiga dengan alibi mendengarkan musik. Dan semakin banyak fakta yang ia dengar, perasaan sayang terhadap ayahnya mulai memudar. Ketika seluruh potongan puzzle telah didapat, perasaan itu sudah mati.

            Beberapa orang yang dekat dengannya dan keluarganya mengatakan bahwa ia berubah. Ia menjadi semakin tak terjangkau, seolah-olah ada dinding tak terlihat yang memisahkan dunianya dengan dunia luar. Namun ia tidak peduli, ia tidak peduli dengan komentar mereka tentangnya. Menurutnya, kesendirian adalah temannya yang sejati, dan ia merasa nyaman dengan itu.

            Hari berganti hari, bulan berganti bulan, dan tahun berganti tahun. Di hari kelulusannya, ia tidak datang ke acara yang diselenggarakan oleh sekolah. Ia tidak suka berada di tempat ramai, rasanya menyesakkan dada. Ia datang keesokan harinya hanya untuk mengambil ijazah.

            Memasuki SMA, ia tidak memusingkan soal beradaptasi. Ia langsung memilih tempat duduk di pojok belakang dan berkutat dengan gadget dan earphone kesayangannya. Ia tidak peduli dengan sekitarnya, dengan apa yang orang-orang lihat pada dirinya, apa yang orang-orang percaya tentang dirinya. Baginya, semuanya tidak ada yang dapat dipercaya dan tak berarti, karena setiap orang pasti akan berakhir sendirian.

(tulisan ini dibuat dalam sesi praktek menulis : Produktif Dengan Menulis, Sebuah Pengantar Workshop Menulis Cerpen oleh Kasmadi)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

18 PEJUANG SNMPTN 2017