Abu - Abu Dalam Pelangi
Manusia hanya melihat apa yang ingin
mereka lihat, dan hanya percaya apa yang mereka ingin percayai. Setidaknya,
itulah yang dipikirkan oleh siswi SMA kelas 1 ini, Karin. Sejak orang tuanya
bercerai 3 tahun lalu, ia merasa hidupnya berubah perlahan-lahan. Entah itu
menjadi lebih baik atau lebih buruk, ia tidak tahu. Yang ia tahu hanyalah ia
merasa nyaman dengan keadaannya sekarang, entah bagaimana pun itu.
Zahra (paling kiri) penulis cerpen ini sebagai hasil dari praktek menulis sesi pertama |
Lucu, adalah hal yang terlintas
dipikirannya pertama kali ketika ia berusaha mendeskripsikan tentang hidupnya
sendiri. Dulu ia adalah seorang anak yang periang, ramah, dan senang bergaul
dengan siapa pun asalkan memberi dampak positif. Ia juga terlahir di dalam
keluarga yang bisa dibilang biasa biasa saja, dengan satu orang adik laki-laki
yang terpaut 5 tahun darinya. Dulu, ia merasa seperti anak yang paling bahagia
yang ada di dunia.
Namun, saat ia memasuki SMP,
beradaptasi tidaklah semudah yang ia kira. Berada di lingkungan yang baru yang
dipenuhi oleh anak-anak dalam masa pubertas, ia merasa seperti ditinggalkan.
Tetapi ia tidak menyerah, ia tetap berusaha untuk ramah kepada siapa pun. Ia
tidak mengira bahwa sikapnya membuat orang lain muak, dan berakhir pada pem-bully-an.
Ia tidak berani untuk mengatakannya
kepada siapa pun, gurunya, keluarganya, semuanya. Ia takut, takut akan
mendapatkan perlakuan yang lebih buruk lagi jika ia mengadu. Namun, kepada
siapa dia akan bersandar? Ia merasa seperti ia tidak memiliki siapa pun di
sisinya.
Seperti kecelakaan beruntun, hal
buruk tidak lelah menimpa kehidupannya. Orang tuanya bercerai, dan ia dan
adiknya harus berpisah dengan ibu mereka. Ayahnya memilih untuk menetap di
rumah kakek neneknya bersama kedua tantenya. Namun sejak saat itu, ayahnya jadi
jarang pulang.
Menutup diri dengan mendengarkan
musik melalui earphone telah menjadi
kesehariannya. Entah itu di sekolah, di rumah, selama ia mendapatkan
ketenangan, ia tidak peduli dengan apa pun. Ia tidak perlu mendengarkan omong
kosong dari orang-orang yang ada di sekitarnya. Namun, pembicaraan antara nenek
dan tantenya tentang ayahnya yang jarang pulang menarik perhatiannya.
Sejak itu, ia sering menguping
pembicaraan mereka bertiga dengan alibi mendengarkan musik. Dan semakin banyak
fakta yang ia dengar, perasaan sayang terhadap ayahnya mulai memudar. Ketika
seluruh potongan puzzle telah
didapat, perasaan itu sudah mati.
Beberapa orang yang dekat dengannya
dan keluarganya mengatakan bahwa ia berubah. Ia menjadi semakin tak terjangkau,
seolah-olah ada dinding tak terlihat yang memisahkan dunianya dengan dunia
luar. Namun ia tidak peduli, ia tidak peduli dengan komentar mereka tentangnya.
Menurutnya, kesendirian adalah temannya yang sejati, dan ia merasa nyaman
dengan itu.
Hari berganti hari, bulan berganti
bulan, dan tahun berganti tahun. Di hari kelulusannya, ia tidak datang ke acara
yang diselenggarakan oleh sekolah. Ia tidak suka berada di tempat ramai,
rasanya menyesakkan dada. Ia datang keesokan harinya hanya untuk mengambil
ijazah.
Memasuki SMA, ia tidak memusingkan
soal beradaptasi. Ia langsung memilih tempat duduk di pojok belakang dan
berkutat dengan gadget dan earphone kesayangannya. Ia tidak peduli
dengan sekitarnya, dengan apa yang orang-orang lihat pada dirinya, apa yang
orang-orang percaya tentang dirinya. Baginya, semuanya tidak ada yang dapat
dipercaya dan tak berarti, karena setiap orang pasti akan berakhir sendirian.
(tulisan ini dibuat dalam sesi praktek menulis : Produktif Dengan Menulis, Sebuah Pengantar Workshop Menulis Cerpen oleh Kasmadi)
(tulisan ini dibuat dalam sesi praktek menulis : Produktif Dengan Menulis, Sebuah Pengantar Workshop Menulis Cerpen oleh Kasmadi)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar